Semiotika Hukum
Tuesday, August 2, 2011
SEMIOTIKA HUKUM SEBAGAI MODEL PEMAHAMAN HUKUM SEBAGAI SIMBOL
Oleh : Turiman Fachturahman Nur, SH.MHum
Abstrak
Mengingat hukum terkandung didalamnya unsur-unsur etik-moral-norma dan tindakan serta nilai-nilai. Hukum tidak saja berupa teks tertulis, melainkan banyak menampilkan simbol-simbol, gambar, tanda, warna dan gerakan, maka pluralisme pemaknaan akan hal-hal tersebut selalu terjadi pluraritas dalam konteks. Hukum yang sarat nilai dapat dimaknai secara lebih memadai, apabila dalam mengeksplanasi dalam rangka menggali makna hukum tidak hanya dibaca secara verbal sebagai bunyi yang terdapat di dalam teks hukum/peraturan perundang-undangan, tetapi membaca dibalik yang tersurat dan tersirat, mengapa demikian karena secara semiotika hukum yang berbasis hermenuetika hukum ada tiga kandungan lapisan hermeneutika, pertama, adanya suatu tanda atau teks itu sendiri dari sebuah sumber tertentu. Tanda, pesan atau teks itu sendiri merupakan satu kesatuan yang terangkat dalam suatu pola tertentu, dan diandaikan menyimpan makna dan intensi yang tersembunyi. Kedua, adanya seorang perantara atau! seorang penafsir untuk memberikan pemahaman terhadap tanda, pesan atau teks yang memiliki makna dan intensi tersumbunyi tersebut. Ketiga penafsir itu menyampaikan pemahamannya atau interprestasinya mengenai makna dari tanda, pesan atau teks kepada kelompok pendengar tertentu, oleh karena itu diperlukan pembacaan hukum sebagai simbol dengan menggunakan semiotika hukum, semiotika hukum adalah metode yang mengkaji simbol-simbol yang didalamnya berisi ide, pemikiran, konsep, perasaan, dan tindakan serta nilai-nilai yang dibaca secara hermenutika hukum baik sebagai metode maupun sebagai teori penemuan hukum terhadap teks hukum dan kata teks hukum dalam pengertian hermenuetika hukum adalah berupa “teks hukum atau peraturan perundang-undangan”, dan teks hukum ini dalam kapasitasnya menjadi “objek” yang ditafsirkan secara semiotika hukum berbasis hermenuetika hukum, dengan kata lain Kata teks yang dimaksudkan disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, d! okumen resmi negara, simbol-simbol kenegaraan atau berupa pend! apat dan hasil ijtihad para pemikir dan penstudi hukum (doktrin).
Kata Kunci : Semiotika, Hermenutika, Studi Semiotika dan Semiotika Hukum.
A. Pengertian Semiotika
Terminologi semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang berasal dari kata Yunani, “semeion”/”Tanda”/Simbol, karena secara sederhana semiotika serring disebut sebagai “study of sign” (suatu pengkajian tanda-tanda), yang oleh Kris Budiman dan Scholes dijelaskan sebagai studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna , sedangkan Saussure menyebutnya sebagai ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda didalam masyarakat (a science that studies the life of sign within society) pandangan lain adalah menurut Rahayu Surtiati Hidayat, menurutnya semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda (sign)/simbol (simbolic) dan pemaknaan (signification)
Pertanyaannya adalah apa yang menjadi studi utama Semiotika? Dengan mendasarkan pada pandangan dari Charles Moris, yaitu seorang filsuf yang menaruh perhatian atas ilmu tentang-tanda-tanda, Kris Budiman menjelaskan bahwa, semiotika pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquery), yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Sintaktik atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara suatu tanda dengan tanda yang lain”, dengan perkataan lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam metode penafsiran Gramatikal (bahasa) dalam Ilmu hukum, yaitu penafsiran yang menekan pada makna teks yang didalamnya kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna teknis yuridis yang sudah dilazimkan. Menurut Vissert Hoft, dinegara-negara yang menganut tertib hukum kodifikasi, teks harfiah undang-undang dinilai sangat penting. Namun penafsiran gramatikal saja tidak cukup jika tentang hal yang ditafsirkan itu sudah menjadi perdebatan ;
2. Semantik, yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan degsinata atau objek-objek yang diacunya”. Bagi Moris yang dimaksudkan dengan degsinata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan didalam tuturan tertentu;
3. Pragmatik, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “ hubungana diantara tanda-tanda dengan interpreter atau para pemakainya-pemaknaan tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
B. Fokus Studi Semiotika
Menurut John Fiske, studi semiotika dapat dibagi kedalam bagian sebagai berikut:
1. Tanda/simbol itu sendiri, hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda/simbol yang berbeda, cara tanda/simbol yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda/simbol adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian yang menggunakannya. Menurut penukis jika dikaitkan dengan lambang negara, misalnya maka simbol-simbol yang ada pada lambang negara itu dapat dipahami dengan pemaknaan yang diberikan oleh negara terhadap makna simbol-simbol yang ada dalam lambang negara.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda/simbol, Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau mengekploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan atau tempat kode dan tanda/simbol bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda/simbol-simbol itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Untuk memahami studi semiotika lebih mendalam, maka Yasraf Amir Pialang menjelaskan tentang beberapa elemen penting dari semiotika yang meliputi beberapa hal sebagai berikut:
1. Komponen tanda/simbol; Apabila praktik sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda/simbol. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda/simbol. Meskipun demikian, didalam masyarakat informasi saat ini terjadi perubahan mendasar bagaiamana “tanda/simbol” dipandang dan digunakan. Ini disebabkan karena arus pertukaran tanda/simbol tidak lagi berpusar didalam suatu komunitas tertutup, akan tetapi melibatkan persinggungan di antara berbagai komunitas, kebudayaan dan ideologi.
2. Aksis Tanda; Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu perbendaharaan tanda atau kata serta askis sintakgmatik, yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda/simbol/simbol , berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi yang bermakna.
3. Tingkatan Tanda; Barthes mengembangkan dua tingkatan penandaan, yang memungkinkan untuk dihasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat. “Denotasi”, yaitu pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukan pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi, tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak ekspilisit, tidak langsung dan tidak pasti artinya;
4. Relasi antar Tanda: Selain kombinasi tanda analisis semiotika juga berupa berupaya untuk mengungkapkan interaksi diantara tanda-tand/simbol-simbol. Meskipun bentuk interaksi antar tanda-tanda/simbol-simbol itu sangat terbuka, akan tetapi ada dua interaksi utama yang dikenal yaitu “metafora”, sebuah model interaksi tanda/simbol, yang didalamnya sebuah tanda/simbol dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem yang lainnya, misalnya didalam lambang negara Indonesia ada perisai besar dan perisai kecil yang kesemuanya dibagi menjadi lima ruang yang didalamnya ada simbol-simbol yang mensimbolisasikan Pancasila, tetapi struktur letaknya dan cara membacanya dapat digunakan untuk menjelaskan sebuah sistem yang lainnya, misalnya sistem norma hukum dan keduanya ada bentuk interaksi “metafora”, yaitu antara cita hukum Pancasila dan sistem norma hukum yang seharus mengacu pada metafora pembacaan cita hukum dalam dalam lambang negara.
C. Pengertian Semiotika Hukum
Berdasarkan pengertian semiotika dan obyek studi semiotika dan elemen penting dari semiotika, maka dapat ditarik pengertian semiotika, yaitu ada dua pengertian: Pertama ilmu yang mempelajari/mengkaji tentang tanda-tanda/simbol-simbol beserta pemaknaan yang terdapat didalam simbol-simbol itu sendiri. Kedua sebuah teori dan analisis berbagai tanda (sign)/simbol (simbolic) dan pemaknaan (signification) didalamnya serta tata cara penggunaannya dalam kehidupan manusia.
Berkaitan dengan pengertian semiotika diatas, maka pengertian kedua lebih representatif untuk menjelaskan semiotika hukum, karena salah satu pengertian hukum, yaitu hukum sebagai simbol yang didalamnya ada nilai-nilai sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, dan tindakan secara arbriter, konvensional, representatif, interpretatif baik makna yang batiniah (inear) maupun yang lahiriah (outer) yang dilambangkan atau diwakili simbol.
Untuk menjelaskan secara rasional, maka perlu dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan simbol itu sendiri ? Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat melambangkan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, conventional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini, tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara yang melambangkan (menyimbolkan) dengan yang dilambangkan (disimbolkan). Dengan demikian, baik yang batiniah (inner) seperti perasaan, pikiran, ide maupun yang lahiriah (outer) seperti benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol.
Contohnya adalah lambang-lambang dari pemerintah daerah di Indonesia, pada tataran semiotic sebenarnya memaparkan karakteristik masing-masing daerah yang gambarnya (ikon)-nya diambil dari benda-benda fisik yang bisa melambang atau mewakili ide, perasaan dan karakteristik daerah itu sendiri, pertanyaan mengapa selalu mengambil ikon dari daerah yang bersangkutan?.
Alasan pertama adalah karena simbol itu dibentuk secara arbitrer. Pemakai simbol tidak perlu banyak berpikir untuk menentukan tanda apa yang akan dia gunakan untuk menyimbolkan sesuatu benda, tindakan, perasaan, pikiran atau ide. Simbol apapun dapat digunakan untuk melambangkan yang dilambangkan. Hanya saja, alasan kedua perlu diperhatikan untuk mengesahkan simbol yang arbitrer. Untuk itu perlu ada konvensi yaitu suatu kesepakatan, perjanjian atau pemufakatan masyarakat pemakai simbol. Apabila dalam proses penciptaan secara arbitrer dapat dikatakan simbol bersifat individual, maka dalam proses pemufakatan masyarakat pemakai simbol, maka dalam proses pemufakatan ia bersifat sosial.
Berdasarkan kedua alasan di atas, maka alasan berikutnya simbol itu harus dirasionalisasi, yaitu simbol itu mampu merepresentasikan yang diwakilinya secara tepat. Kemampuan representatif simbol itu dapat diuji dengan alasan berikutnya yaitu interpretasi dari individu atau kelompok masyarakat pemakai simbol itu. Dengan kata lain, sebuah simbol adalah simbol apabila mampu merepresentasikan yang dilambangkannya berdasarkan interpretasi penafsiran simbol itu.
Hubungan interpretasi dengan representasi tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain sebagaimana yang dikatakan oleh Zoest , bahwa hubungan yang tidak dapat dilepaskan dari sifat representatif tanda (dalam hal ini juga simbol) adalah sifat interpretatif. Untuk memperoleh gambaran bagaimana sebuah simbol itu diinterpretasikan tentulah ditelusuri bagaimana simbol itu dirancang dan pada ranah ini dibutuhkan sebuah pendekatan akademis yaitu menggunakan pendekatan historisitas.
Tampaknya, representasi lebih fundamental daripada interpretasi. representasi mendahului interpretasi. Interpretasi tidak akan ada tanpa representasi, tetapi apakah mungkin ada representasi tanpa interpretasi? Mungkin hal itu bisa terjadi meskipun konsepnya kurang hidup. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa interpretasi menuruti representasi simbol.
Ketika ide, pemikiran, konsep, perasaan dan tindakan itu diverbalkan, maka sebuah simbol yang telah termaknakan tersebut diformulasikan kedalam bahasa teks hukum dan jika teks hukum itu dikonstruksi dalam sebuah bentuk hukum, misalnya yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau pejabat yang berwenang, maka selanjutnya dinamakan peraturan perundang-undangan.
Pada tataran inilah peraturan perundang-undangan pada studi semiotika hukum bukan hanya dibaca secara teks an sic, tetapi harus dieksplanasi ide, pemikiran, konsep, perasaan dan tindakan apa yang menyelinap kedalam rumusan teks peraturan perundang-undangan atau ide, pemikiran, konsep, perasaan dan tindakan yang tersurat dan tersirat dibalik teks hukum dalam formulasi materi muatan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian teks hukum telah dikonsepkan kedalam beberapa ragam makna yang kemudian pada tataran realitas, teks hukum akan dipersepsi dari berbagai perspektif, dan kemudian daripada itu akan menghasilkan pemahaman, pemaknaan, dan konsep yang tak bisa tunggal. “Hukum bukanlah lagi sebatas gejala atau realitas; melainkan sebuah konsep yang dapat dieksplanasi dari berbagai cara pandang pemikir dan penstudi hukum sesuai dengan paradigma yang diacu oleh pemikir dan penstudi hukum bersangkutan.
Mengapa demikian ?, karena sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskkan (written law), maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting sekali. Sejak pembacaan teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap teks hukum tak dapat dihindarkan. Bahkan menurut Satjipto Rahardjo mengatakan, bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantungnya hukum. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktivitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. Diajukan sebaih adagium “membaca hukum adalah menafsirkan hukum “ Jadi jika ada yang menyatakan bahwa teks hukum sudah jelas ketika diverbalkan kedalam bentuk hukum tertulis, misalnya dalam formulasi peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo adalah satu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-diam mengaku bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan.
Pada tataran penafsiran inilah studi semiotika hukum memerlukan pendekatan disiplin lain, yaitu hermeuetika hukum, mengapa demikian ? karena salah satu fungsi dan tujuan mempelajari hermenuetika menurut James Robinson adalah untuk “bringing the unclear into clarity” (memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas), sedangkan Leyh, tujuan dari pada “hermenuetika hukum “ adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interprestasi hukum didalam kerangka hermenuetika pada umumnya. Upaya mengkontektualisasikan teori hukum dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa hermenuetika memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum atau yurisprudensi
Salah satu kajian hermenuetika hukum untuk membaca ide, pemikiran, konsep dibalik hukum sebagai simbol yang telah diverbalkan ke dalam teks hukum, maka konsep hermenuetika filosofis dari Gadamer sangatlah relevan, mengapa demikian, karena hermenuetika filosofis Gadamer adalah sebuah usaha untuk mengidentifikasi kondisi pemahaman manusia terhadap teks hukum. Hal ini dikarenakan hermenuetika filosofis mempunyai tugas ontologis, yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca masa lalu dan sekarang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuin).
Sedangkan pada tataran konsepsional tugas hermenuetika secara epistemologi hakekatnya dimaknakan sebagai teori atau filsafat tentang interprestasi makna (Bleicher, 1980) atau sebagai suatu teori tentang aturan-aturan yang digunakan dalam eksegese (ilmu tafsir) ataupun suatu interprestasi atas teks atau kumpulan tanda-tanda tertentu yang dipandang sebagai teks (Ricoeur) dan secara etimologis, istilah hermenuetika mengandung tiga lapisan makna, yakni pertama, adanya suatu tanda atau teks itu sendiri dari sebuah sumber tertentu. Tanda, pesan atau teks itu sendiri merupakan satu kesatuan yang terangkat dalam suatu pola tertentu, dan diandaikan menyimpan makna dan intensi yang tersembunyi. Kedua, adanya seorang perantara atau seorang penafsir untuk memberikan pemahaman terhadap tanda, pesan atau teks yang memiliki makna dan intensi tersumbunyi tersebut. Ketiga penafsir itu menyampaikan pemahamannya atau interprestasinya mengenai makna dari tanda, pesan atau teks kepada kelomp! ok pendengar tertentu.
Ketiga lapisan makna tersebut dapat digunakan sebagai basis studi semiotika hukum, mengapa demikian, karena harus diakui bahwa perkembangan studi hukum dewasa ini telah maju seiring dengan perubahan atau pergeseran perspektif atau cara pandang pemikir dan penstudi hukum yang memandang hukum tidak semata-mata dilihat dan diberlakukan sebagai sebuah bangunan norma, melainkan lebih jauh dari sebagai sebuah sistem hukum yang didalamnya terdapat sub sistem lainnya, seperti politik, budaya, ekonomi dan lain sebagaimnya.
Perubahan terhadap cara pandang itupun menuntut perubahan pada metode atau cara-cara yang ditempuh untuk memahami dan menjelaskan secara lebih memadai tentang yang kita sebut dengan hukum itu, artinya kehadiran metode semiotika hukum dengan berbasiskan hermeutika hukum dalam studi hukum juga sebetulnya juga sebagai salah satu alternatif untuk memahami dan menjelaskan ide, pemikiran, konsep, tindakan bahkan nilai-nilai yang menerobos masuk kedalam aspek-aspek yang berada dibalik tanda/simbol, pesan atau teks-teks hukum yang tampak kasat mata baik secara tersirat maupun tersurat.
Dengan demikian jika semiotika hukum itu pada satu sisi digunakan untuk memahami konsep atau model dari sistem hukum berdasarkan paradigma apa yang menyelinap dibalik bangunan hukum yang sedang diberlakukan dalam suatu masyarakat hukum, misalnya negara, maka pada sisi lainnya hermenuetika hukum membaca teks hukum dalam hal ini kata teks dalam pengertian hermenuetika hukum adalah berupa “teks hukum atau peraturan perundang-undangan”, dan ia kapasitasnya menjadi “objek” yang ditafsirkan secara semiotika hukum berbasis hermenuetika hukum, dengan kata lain Kata teks yang dimaksudkan disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, simbol-simbol kenegaraan atau berupa pendapat dan hasil ijtihad para pemikir dan penstudi hukum (doktrin).
Pertanyaannya adalah apa relevansi semiotika hukum dari kajian hermenuetika hukum ? penulis sependapat dengan pandangan E. Sumaryono, bahwa relevansi kajian hermenuetika hukum itu mempunyai dua makna sekaligus: Pertama, hermenuetika hukum dapat dipahami sebagai “metode interprestasi atas teks-teks hukum” atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif” Di mana, interprestasi yang benar terhadap teks hukum harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun tersirat, atau antara bunyi hukum dengan semangat hukum. Pada tataran ini menurut Gadamer, ada tiga persyaratan yang harus dipenenuhi oleh seorang penafsir/interpreter, yaitu memenuhi subtilitas intelegendi (ketepatan pemahman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran), dan subtilitas applicandi (ketepatan penerapan). Kedua, hermenuetika hukum juga mempunyai pengaruuh besar atau relevansi dengan “teori penemuan hukum”. Hal ini ditampilkan dalam kerangka pemahaman â! �œ;ingkaran spiral hermenuetika (cyrcel hermenuetics), yaitu proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Karena dalil hermemenuetika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah termasuk dalam paradigma dari teori penemuan hukum modern dewasa ini.
Berdasarkan paparan di atas, maka secara akademis, bahwa yang dimaksud dengan semiotika hukum adalah metode yang mengkaji simbol-simbol yang didalamnya berisi ide, pemikiran, konsep, perasaan, dan tindakan serta nilai-nilai yang dibaca secara hermenutika hukum baik sebagai metode maupun sebagai teori penemuan hukum terhadap teks hukum dan kata teks hukum dalam pengertian hermenuetika hukum adalah berupa “teks hukum atau peraturan perundang-undangan”, dan teks hukum ini dalam kapasitasnya menjadi “objek” yang ditafsirkan secara semiotika hukum berbasis hermenuetika hukum, dengan kata lain Kata teks yang dimaksudkan disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, simbol-simbol kenegaraan atau berupa pendapat dan hasil ijtihad para pemikir dan penstudi hukum (doktrin).
Daftar Kepustakaan
Arief Sidharta, Bandung : Laboraturium Hukum FH Univ, Parahiayangan, 2001.
Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekontruksi Teks menuju Progresivitas Makna, Refika Pratama, Bandung, 2005
E, Sumaryono, Hermenuetik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
Ferdinand D . Saussure, Course in General Linguistic, McGraw-Hill, New York University, 1996.
Fromm, Erich. 1951."The Nature of Symbolic Language". Dalam Arthur M. Eastman (Ed.). The Norton Reader. An Anthology of Expository Prose. New York: Norton and Company, 1978
John Fiske, Cuktural and Communication Studies, Jalasutra, Yogyakarta, 2004.
Jazim Hamidi, “Mengenal Lebih Dekat Hermenuetika Hukum (Persfektif Falsafati dan Merode Interprestasi) dalam Butir-Butir Pemikiran Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008
J.J Bruggink, “Recht- Reflecties, Grondbegrippen uit de rechtheorie, Terjemahan oleh Benard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
James Robinso.M.Robinson, “Hermenuetika Since Barth” dalam New Frontiers in Theology” , dimuat dalam Gregory Leyh, Legal Hermeneutics
Kris Budiman, Semiotika Visual, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, 2003
Rahayu Surtiati Hidayat, Semiotik dan Bidang Ilmu, dalam semiotika Budaya, yang disunting Christomy & Untung Yuwono, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta, 2004
Visser’t Hoft,Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung : Laboraturium Hukum FH Univ, Parahiayangan, 2001
Yasraf Amir Piliang, Hiper semiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Zoest, Aart van, Semiotiek. Belgia: Basisboeken/Ambo/Baarn,1978.
Zumri Bestado Syamsuar, “Pandangan Paul Ricoeur Mengenai Ideologi dan Kritik Ideologi Atas Teori Kritis Masyarakat, Tesis Magister Ilmu Filsafat, Jakarta: Program Pascasarajana Ilmu Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004.
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Secara Singkat
Monday, February 7, 2011
Gerbong reformasi terus berjalan di negara kita, walau di rasa agak lamban namun melaju secara pasti ke arah tujuan yang dicita-citakan pendiri bangsa ini, sebagaimana pepatah lebih baik lambat daripada tidak sama sekali. Salah satu yang perlu dibanggakan adalah diterbitkanya undang undang yang mewajibkan penyelenggara negara untuk lebih bersikap transparan kepada warganya, dimana telah diatur di dalamnya hak rakyat untuk mengetahui dan memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan mengacu pada pasal 28F UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Termasuk hak untuk mencari, memperoleh memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada.
Dengan dasar dan pertimbangan itu pemerintah menerbitkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur lebih dalam tentang keterbukaan informasi dan transparansi penyelenggaraan negara sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Dalam bab 1 pasal 1 UU ini dijelaskan bahwa informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan dan tanda tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat didengar dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun non-elektronik. Sedang informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara negara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dan badan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat atau bantuan luar negeri.
Dalam pasal 4 dijelaskan tentang hak masyarakat sebagai pemohon atau pengguna informasi publik untuk memperoleh, mengetahui, melihat, menghadiri, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap permohonan informasi harus disertai dengan alasan yang jelas dan diajukan secara lesan maupun tertulis. Setiap informasi yang diperoleh oleh masyarakat harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya menurut peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 6 dan 7 disebutkan hak dan kewajiban badan publik dalam menerima permintaan informasi yang diajukan oleh masyarakat pengguna informasi. Badan publik mempunyai hak untuk menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, informasi publik yang tidak dapat diberikan adalah :
* informasi yang dapat membahayakan negara.
* informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha yang tidak sehat.
* informasi yang berkaitan dengan hak pribadi.
* informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan.
* informasi yang diminta belum dikuasai atau belum didokumentasikan.
Selain yang tersebut di-atas, tidak ada alasan bagi badan publik untuk menolak permintaan informasi dari masyarakat pengguna informasi publik. Oleh karenanya badan publik harus bersikap terbuka terhadap masyarakat. Selain itu dalam UU ini diatur juga adanya sangsi pidana yang diberikan berkaitan dengan pemberian dan penggunaan informasi publik yang tertuang dalam pasal 51 sampai pasal 57, dimana intinya kepada masyarakat pengguna informasi publik yang menyalahgunakan informasi tersebut maupun badan publik yang tidak mau memberikan informasi publik dikenai sangsi pidana penjara dan denda. Dengan demikian pemberian informasi dan penggunaannya harus dilakukan secara bertanggung jawab. Untuk lebih lengkapnya peraturan ini dapat didownload pada produk hukum tahun 2008 di Website Resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia. Sumber: Menyimak UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Penyertaan Dalam Hukum Pidana (Deelneming)
Sunday, December 19, 2010
Dalam Hukum Pidana, diatur Pasal 55 dan 66 KUH Pidana:
1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.
Ad. 1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
Ad.2. Doen Plegen
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
Ad.3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.
Ad.4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.
Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker). Artikel Penyertaan Dalam Hukum Pidana di blog Belajar Hukum Indonesia ini ditulis oleh SIAMTO, SH.